Seperti apa kehidupan 6.000 tahun lalu? Jamah fakta kehidupan di Situs Gunung Padang, Cianjur, Cianjur. Batu-batu yang diyakini dipersiapkan untuk membangun piramida 6000 tahun masih teronggok di sana.
Batu-batu yang sudah berbentuk dan diyakini untuk membangun piramida yang masih teronggok dalam jumlah banyak di Situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat. Batu-batu itu adalah saksi bisu tentang cara berfikir manusia Cianjur 6.000 tahun lalu. Bagaimana mereka membentuk batu sehingga rap berbentuk segi empat yang berukuran sama satu dengan yang lain. Berapa lama mereka membentuk satu batu menjadi empat persegi?
Bagaimana organisasi pembagian kerja mereka? Logika-logika seperti apa yang dilontarkan oleh para motivator zaman 6000 tahun lalu sehigga mampu memobiliasi manusia melakukan pekerjaan berat mengolah batu satu demi satu untuk tujuan membangun sebuah piramida? Apakah para pekerja itu dicambuk atau dihukum seperti zaman Jepang atau zaman kerja rodi agar mau bekerja? Atau cukup dimotivasi dengan mitos-mitos tertentu? Berkunjung ke Situs Gunung Padang sepeti membawa kita menarik mundur jarum jam dan memperoleh kesempatan secara leluasa menjamah fakta kehidupan 6.000 tahun lalu.
Perjalanan ke Situs Gunung Padang, seperti yang ditulis Ahmad Samantho di blog Bayt al-Hikmah Institute yang diposkan Mei 2010, tidaklah mudah walaupun bukan suatu perjalanan yang penuh liku. Pada tanggal 15 Agustus 2009, tulis Ahmad Samantho , saya berkesempatan mengikuti “Tur Situs Megalitik Gunung Padang.” Situs ini terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Konon, menurut para ahli arkeologi, situs ini merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Asyiknya, “Tur Megalitik Situs Gunung Padang” dimulai dengan naik kereta ekonomi jurusan Bandung – Cianjur. Jalur kereta Bandung – Cianjur merupakan jalur kereta api tertua, yang mulai dioperasikan pada tahun 1884. Sepanjang jalur ini, banyak terdapat potensi geowisata tentang pembentukan Danau Bandung Purba. Untungnya, pemimpin dan interpreter tur adalah pakar geologi, jadi, di sepanjang perjalanan dengan kereta, kami mendapatkan penjelasan tentang berbagai fenomena geologis yang dilalui.
Sebetulnya, tidak hanya peserta tur yang mengikuti penjelasan ini, ketika interpreter menunjukkan sesuatu di luar jendela, penumpang yang lain -plus penjual yang berlalu lalang- pun ikut melongok Rombongan turun di Stasiun Cipeuyeum. Perjalanan Bandung – Stasiun Cipeuyeum ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Stasiun Cipeuyeum ini merupakan stasiun di pinggir Kota Cianjur. Di sana kami sudah dijemput oleh bis yang akan membawa kami ke Situs Gunung Padang.
Perjalanan dari Stasiun Cipeuyeum ke Gunung Padang ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 45 menit, tetapi kami singgah dulu di Stasiun Lampegan yang memiliki terowongan kereta api yang juga sudah tua umurnya. Perjalanan dilanjutkan ke Situs Gunung Padang. Tepat 15 menit, tiba di perkebunan teh milik PTPN VIII Panyairan yang terletak di sekitar Situs Gunung Padang. Perjalanan harus dihentikan karena bis yang kami gunakan, tidak memungkinkan untuk masuk sampai ke kaki Gunung Padang. Kendaraan yang lebih kecil dapat langsung sampai ke kaki Gunung Padang.
Dari sini kami berjalan kaki sekitar 1 km. Sebetulnya hal ini tidak menjadi masalah karena kami berjalan melalui perkebunan teh yang pemandangannya sangat indah, namun karena saat itu hampir tengah hari, jadi terasa agak panas. Setelah melalui jalan-jalan mendaki, menurun, mendaki lagi, akhirnya kami tiba di kaki Gunung Padang sekitar satu jam kemudian. Setelah sejenak beristirahat dan sholat, kami mulai melakukan ‘pendakian’ ke Situs Gunung Padang. Untuk menuju Situs Gunung Padang, terdapat dua alternatif jalan.
Alternatif pertama adalah jalan utama, mendaki sekitar 370 anak tangga dengan kemiringan yang cukup tajam, hampir 40 derajat. Alternatif kedua adalah mendaki sekitar 500 anak tangga dengan kemiringan yang lebih landai. Kami memutuskan untuk mengambil jalan utama yang jarak tempuhnya lebih pendek dan terbuat dari batuan asli, walaupun dengan kemiringan yang lebih tajam. Satu per satu anak tangga kami daki. Anak-anak tangga ini disusun dari batu-batu berbentuk kolom poligonal yang dipasang melintang.
Dengan sedikit terengah-engah, akhirnya 15 menit kemudian, kami tiba di Situs Gunung Padang. Woww…!! Pemandangan ke depan dan ke belakang betul-betul menakjubkan! Situs Gunung Padang ini terdiri dari lima pelataran (bisa juga menjadi 7 pelataran jika bagian-bagian tertentu di bawahnya dianggap sebagi pelataran). Masing-masing pelataran berada lebih tinggi sekitar 50-cm dari pelataran sebelumnya. Beberapa peserta tur yang kelelahan langsung merebahkan diri ke atas rerumputan begitu tiba di pelataran pertama.
Pelataran pertama adalah pelataran dengan gerbang kecil yang terbentuk oleh kolom-kolom batu yang berdiri berhadapan. Pada pelataran pertama ini terdapat batu-batu berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 – 1 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman dahulu. Arsitek megalitik yang diperkirakan hidup sekitar 6000 tahun yang lalu, menyusun kolom-kolom batu tersebut menjadi sebuah bangunan berundak-undak (bertangga-tangga) yang sangat indah.
Sayangnya, letak batu-batuan tersebut saat ini sudah banyak yang tidak beraturan, tergeletak begitu saja. Menurut Pak Dadi, petugas di situs Gunung padang, sebelum dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi, Gunung Padang merupakan sumber kayu bagi para pencari kayu. Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sini dan ditebang oleh para pencari kayu. Selain itu, Gunung Padang juga pernah dimanfaatkan sebagai ladang oleh masyarakat sekitar. Penebangan dan pengangkutan pohon serta perladangan lah yang mengubah posisi bebatuan dari posisi aslinya. Untungnya, masih terdapat beberapa batuan yang tersusun rapi pada posisi aslinya sehingga nilai-nilai budayanya tidak hilang begitu saja. Pada pelataran pertama, terdapat batu berbentuk poligon yang disebut batu gamelan. Konon, pada jaman dahulu, dari arah Gunung Padang ini kerap terdengar bunyi-bunyi gamelan setiap malam Selasa dan malam Jumat. Sampai saat ini bunyi gamelan ini sesekali saja terdengar, dikalahkan oleh bunyi-bunyi dari sumber-sumber suara lain yang lebih modern, seperti TV, radio, maupun kendaraan bermotor. Salah satu petugas yang mengantar kami, memainkan batu gamelan tersebut, terdengarlah alunan musik tradisional Sunda dari pukulan-pukulan batu kecil pada batu gamelan. Para seniman tradisional Sunda, seperti pesinden, dalang, konon sering melakukan doa di sini sebelum melakukan pertunjukan. Pada pelataran berikutnya, Pak Dadi, menunjukkan kepada kami batu dengan cerukan yang menyerupai bentuk telapak kaki harimau berukuran besar.
Di pelataran selanjutnya, terdapat batu gendong. Menurut Pak Dadi, jika ada yang berhasil mengangkat batu gendong tersebut, maka semua keinginannya akan terwujud. Penasaran, saya mencoba untuk mengangkat batu tersebut. Ternyata, saangaat berat! Beberapa kali saya coba, tidak satu kali pun batu itu terangkat oleh saya. Beberapa peserta tur lain pun mencoba mengangkat batu gendong, tetapi tidak ada satu orang pun yang berhasil, termasuk Pak Dadi….!! Pada pelataran kelima, terdapat tempat yang dianggap memiliki aura paling kuat di Gunung Padang.
Di tempat ini terdapat lubang kecil di bawah tanah yang ditutupi oleh batu-batu poligonal. Menurut Pak Dadi, lubang ini pada awalnya berukuran besar, bahkan manusia pun bisa masuk ke dalamnya, tetapi untuk menghindari hal-hal yang membahayakan pengunjung, lubang ini sebagian ditutup olehnya. Di tempat inilah orang-orang yang percaya pada kekuatan mistis Gunung Padang bersemedi untuk mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan yang diinginkannya. Kalau merujuk pada sejarah Jawa Barat, Gunung Padang ini diperkirakan merupakan salah satu kebuyutan yang ditemukan oleh seorang Pangeran Kerajaan Sunda yang berkelana menjelajahi tempat-tempat keramat di Pulau Jawa dan Bali pada sekitar abad ke-15. Konon, tujuan perjalanannya adalah untuk meningkatkan ilmu yang dimilikinya.
Pangeran ini adalah pangeran yang mendapat julukan Bujangga Manik. Dari perjalanannya, Bujangga Manik berhasil mencatat sekitar 450 nama geografis yang sebagian besar masih dapat dikenali sampai saat ini. Catatan dalam lembar-lembar daun lontar tersebut sekarang tersimpang di Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dari catatan tersebut diketahui bahwa Bujangga Manik pernah melakukan persiapan untuk perjalanan spiritualnya ke Nirwana di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur. Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Sungai Cisokan yang disebut oleh Bujangga Manik, tetapi satu-satunya tempat kebuyutan yang ada di hulu Sungai Cisokan – Cikondang, Cianjur adalah Gunung Padang. Masih banyak cerita bernilai tinggi yang dapat digali dari Situs Gunung Padang. Ini tentu saja membutuhkan dukungan para peneliti arkeologi maupun sejarah.
Potensi arkeologi, sejarah, maupun geologi Gunung Padang yang masih belum digali secara optimal ini merupakan kekayaan alam dan budaya yang sangat tinggi bagi Cianjur, dan bahkan bagi Indonesia. Kami duduk-duduk menikmati angin sepoi-sepoi dan bertukar cerita tentang kemungkinan sejarah geologis dan kebudayaan situs ini di pelataran ke lima hingga sore hari. Kami kemudian turun kembali ke kaki Gunung Padang. Kali ini, kami mengambil jalan yang lebih landai agar pengalaman yang kami dapatkan lebih utuh. Melalui jalan ini dapat dilihat sisi situs Gunung Padang yang dibentuk dari tumpukan (mungkin) ribuan batu poligonal ini. Wah, sungguh mengesankan…***
EmoticonEmoticon